Rabu, 14 Juli 2010

Goa Maria Lawangsih

GOA MARIA LAWANGSIH

DEMOGRAFI

Goa Maria Lawangsih terletak di Perbukitan Menoreh, perbukitan yang memanjang, membujur di perbatasan Jawa Tengah dan DIY, (Kabupaten Purworejo dan Kulon Progo). Di tengah perbukitan Menoreh, bertahtalah Bunda Maria Lawangsih (Indonesia: Pintu/Gerbang Berkat/Rahmat). Gua Maria Lawangsih berada di dusun Patihombo, Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Secara gerejawi, masuk wilayah Stasi Santa Perawan Maria Fatima Pelemdukuh, Paroki Santa Perawan Maria Nanggulan, Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang. Lokassi Goa Lawangsiih hanya berjarak 20 km dari peziarahan Katolik Sendangsono, 13 km dari Sendang Jatiningsih Paroki Klepu.

SEJARAH

Goa Maria Lawangsih adalah Goa Maria yang pada awalnya adalah sebuah goa Lawa (Goa yang penuh dengan Kelelawar), yang memang diyakini sudah diketahui oleh penduduk sekitar sebagai tempat petani mencari pupuk dari kotoran Kelelawar. Sebelum ditetapkan sebagai Goa Maria, goa ini adalah sebuah goa alami biasa yang merupakan tempat tinggal kelelawar. Dalam bahasa Jawa kelelawar disebut “Lawa”. Goa ini dihuni oleh banyak kelelawar, maka tidak heran bila nama goa ini adalah Goa Lawa.Tidak diketahui secara pasti, kapan Goa Lawa ini dimasuki oleh penduduk.

Awalnya, Goa Lawa hanyalah tanah grumbul (semak belukar) yang memiliki lubang kecil di pintu goa (+1 m2), namun lorong-lorongnya bisa dimasuki oleh manusia untuk mencari kotoran Kelelawar sampai kedalaman yang tidak terhingga. Namun karena faktor tidak adanya penerangan dan suasana dalam goa yang pengap, maka tidak banyak penduduk yang bisa masuk ke dalam goa. Pada tahun 1990-an, Goa Lawa sempat dijadikan oleh Muda-Mudi Stasi Pelemdukuh untuk tempat memulai berdoa Jalan Salib (Stasi), namun setelah itu tidak ada perkembangan yang berarti sampai tahun 2008.

Pada bulan Juli 2008, Goa Lawa yang semula milik keluarga T. Supino (Ketua Stasi SPM Fatima Pelemdukuh), telah dihibahkan kepada Gereja. Pembangunan Goa Maria Lawangsih untuk menjadi tempat berdoa (Panti Sembahyang) adalah atas inisiatif Romo Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Nanggulan ini yaitu Romo Ignatius Slamet Riyanto, Pr, setelah beberapa kali masuk dan meneliti kemungkinan Goa Lawa menjadi tempat doa. Pada awalnya, Romo Ignatius Slamet Riyanto, hanya ingin menjadikan tempat yang awalnya “dianggap keramat” oleh penduduk sekitar, menjadi tempat yang nyaman bagi umat sekitarnya untuk berdoa. Namun rupanya ada banyak orang yang tahu dari mulut ke mulut (Jawa: gethok tular) tentang keberadaan tempat ziarah ini, sehingga makin lama semakin banyak peziarah yang datang dari Bandung, Surabaya, Lampung, Jakarta, Semarang, dan kota-kota besar lainnya, bahkan berdasarkan data dari buku tamu yang disediakan beberapa kali ada peziarah dari luar negeri (Belanda, Perancis dan Australia) yang datang ke sana.

Pembangunan yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh umat dan didukung keinginan umat untuk memiliki tempat berdoa di tempat terbuka dan memiliki sumber air, begitu besar, sehingga membuat hibah tanah dan Goa Lawa menjadi suatu pilihan yang menarik untuk ditindaklanjuti. Langkah yang diambil pihak Gereja adalah dengan dibangunnya goa tersebut menjadi suatu tempat berdoa yang diinginkan umat. Sejak saat itu, tanah di sekitar Goa Lawa dibersihkan, yang pada awalnya hanyalah sebuah lubang/goa kecil, tanah yang berada di sekitarnya digali, hingga akhirnya lubang di sekitar goa bisa menjadi seperti saat ini. Batu besar ( + 8m2) dan tanah yang menutup lubang goa perlahan-lahan dibongkar dan dibersihkan.

Pengerjaan Goa tidak menggunakan alat-alat berat/modern. Di sinilah mukjizat itu terjadi. Selama hampir satu tahun, umat Katolik dan warga sekitar Goa Lawa bekerja bersama, menggali tanah, mengangkat, membersihkan dan membuat Goa menjadi seperti saat ini. Semua dilakukan dengan penuh semangat, kerjasama dan pelayanan. Nama Goa Lawa ingin dipertahankan oleh umat, agar menjadi prasasti bagi tempat peziarahan umat Katolik. Akhirnya, Goa Lawa diberi nama baru: GOA MARIA LAWANGSIH.

Lawangsih dapat diartikan demikian. Kata Lawang dalam Bahasa Jawa mengandung arti pintu, gapura atau gerbang. Kata sih (asih) artinya kasih sayang, cinta, berkat, rahmat. Secara rohani, Lawangsih menunjuk makna Bunda Maria sebagai gerbang surga, pintu berkat. Dalam keyakinan kita, Bunda Maria adalah perantara kita kepada Yesus (per Maria ad Jesum), Putranya yang telah menebus dosa manusia dan membawa pada kehidupan kekal.

Pada bulan Mei 2009, untuk pertama kalinya Goa Lawa ini dipakai menjadi tempat Ekaristi penutupan Bulan Maria, namun dengan memakai tempat dan peralatan seadanya. Barulah pada tanggal 01 Oktober 2009, tempat peziarahan ini dibuka untuk umum dan diresmikan oleh Rm. Ignatius Slamet Riyanto, Pr. Patung Bunda Maria yang merupakan bantuan dari donatur, ditahtakan di dalam goa. Sebelum Patung Bunda Maria diboyong dan ditahtakan di Goa Maria Lawangsih, selama 3 hari, setiap malam umat “tirakat” dan berdoa Novena serta banyak umat yang “lek-lek-an” (laku prihatin) di Goa Maria Lawangsih untuk memohon karunia Roh Kudus agar menjadikan Goa Maria Lawangsih menjadi tempat bagi semua orang yang datang ke sana, mendapatkan berkat, memperoleh kekuatan rohani dan semakin dekat dengan Yesus melalui Maria. (Per Mariam Ad Jesum. Melalui Maria sampai pada Yesus). Romo Ignatius Slamet Riyanto, Pr pun selama selama 3 malam berturut-turut juga ikut bergabung dan berdoa bersama umat, tirakat di Goa Maria Lawangsih.

Perarakan “Mboyong Sang Ibu” diikuti oleh 700an umat Stasi SPM Fatima Pelemdukuh dan sekitarnya. Ekaristi yang dilakukan pada tanggal 01 Oktober 2009 diawali dari Gereja (yang berjarak 500 m), dengan mengarak patung Bunda Maria menuju Goa Maria Lawangsih. Semua umat mengarak Bunda Maria dengan penuh keheningan (wening ing bathin), berdoa di dalam batin mohon karunia Roh Kudus agar memberkati umat dalam peziarahan di dunia ini. Umat juga berdoa agar tempat peziarahan Goa Maria Lawangsih menjadi tempat mereka menimba kekuatan iman, agar mampu menghadapi tantangan kehidupan ini. Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa dan iringan gamelan menambah aura rohani merebak di Goa Maria Lawangsih. Pukul 16. 00 WIB, Bunda Maria diberkati dan ditahtakan. Banyak umat meneteskan air mata, tatkala Sang Ibu, dengan penuh senyum mengundang umat untuk berdoa dengan perantaraannya.

Seusai Ekaristi, umat berhamburan berdoa di hadapan Bunda Maria dan berebut masuk ke dalam Goa Lawangsih, dimana kemahabesaran Allah sungguh nyata. Sebuah karya nan indah dari Sang Arsitek membuat umat terpana. Karya Tuhan sungguh mahaindah. Sebuah goa yang penuh dengan stalagtit dan stalagmit dengan gemercik air yang keluar dari sumber air di dalam Goa. Di sebelah kanan Bunda Maria Lawangsih, ada goa yang cukup luas, memanjang sampai kedalaman yang tak terhingga, penuh dengan suasana sakral. Di belakang Bunda Maria Lawangsih, terdapat goa yang lebih indah dengan sumber air di dalamnya. Sayang, goa ini agak sempit di luarnya, namun semakin ke dalam semakin luas dan penuh dengan pemandangan yang eksotik.

Akhirnya, saat ini umat Paroki SPM Tak Bernoda Nanggulan sudah memiliki Goa Maria Lawangsih sebagai rangkaian dari Goa Maria Pengiloning Leres yang sudah ada.

CIKAL BAKAL GOA MARIA LAWANGSIH

Goa Maria Lawangsih merupakan langkah peziarahan iman umat Stasi SPM Fatima Pelemdukuh, yang selama ini berdoa kepada Bunda Maria di Goa Maria Pengiloning Leres (Cermin Kebijaksanaan), sebuah Goa Maria di atas Kapel Stasi SPM Fatima Pelemdukuh. Goa Pengiloning Leres adalah cikal bakal Goa Maria Lawangsih, merupakan goa alam, namun hanya kecil. Letak Goa Pengiloning Leres yang berada di atas Kapel SPM Fatima Pelemdukuh, tidak terlalu jauh dari Goa Maria Lawangsih.

Di samping goa, bertahtalah Patung Kristus Raja yang memberkati yang tingginya 3 meter. Di belakang goa terdapat ruang doa yang cukup luas, bersih, dan teduh. Goa ini berada lebih tinggi daripada Kapel Stasi SPM Fatima. Legenda yang berkembang mengatakan bahwa bukit di Goa Pengiloning Leres ini adalah (Jawa: gedogan) kandang Kuda Sembrani. Banyak orang mengalami peristiwa bahwa hampir setiap Malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon mendengar suara gaduh, (Jawa: pating gedobrak). Konon katanya, goa ini dulunya dipakai oleh para makhluk halus sebagai kandang kuda Sembrani. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah mata air di bagian bawah bukit yang bernama “benjaran” yang berarti tempat minum kuda.

Mengingat tempatnya yang jauh dan terpencil dari kota Yogyakarta, wajar bila Goa Maria Pangiloning Leres tidak banyak dikenal oleh masyarakat di luar Stasi Pelem Dukuh. Medan yang cukup dijangkau karena jalan turun naik yang agak curam dan rusaknya sebagian jalan pada waktu itu menjadi alasan sedikit orang berkunjung ke Goa Maria Pengiloning Leres. Padahal, ada banyak hal-hal yang menarik terdapat di sana. Hal yang hanya terdapat di Stasi Pelem Dukuh, Stasi yang kaya akan pemandangan alam yang asri dan goa alami nan indah. Di bawahnya terdapat Kapel (Gereja) yang sebagian dindingnya adalah Batu Karang (asli) yang ingin menunjukkan bagaimana Gereja yang dibangun Yesus di atas Batu Karang. Bila kita melihat segi arsitekturnya dari sisi luar Kapel, mungkin saja akan kalah bila dibandingkan dengan gereja yang terdapat di kota besar lainnya. Namun, bila kita masuk ke dalam Gereja kita akan melihat beberapa lukisan yang indah dimana Gerbang Kerajaan Surga tergambar indah di dinding. Adapula kisah pembangunan yang penuh perjuangan karena Gereja sulit mendapatkan tanah pada waktu itu. Namun sempat pula Romo YB. Mangunwijaya, Pr sempat meneliti dan mereka-reka arsitektur Kapel Stasi Pelemdukuh yang alami. Namun tidak ada informasi yang tepat, mengapa Romo YB. Mangunwijaya, Pr tidak melanjutkan arsitektur di Kapel tersebut.

Arsitektur yang digunakan oleh Kapel menarik sekali. Penataan batu-batu alami di sisi barat Kapel menambah keasrianya. Pemertahanan bentuk alami batu kapur tanpa tembok ini adalah sesuai dengan anjuran Romo YB. Mangunwijaya yang merupakan arsitek handal. Di belakang Altar dihiasi dengan lukisan-lukisan Gunungan Wayang yang menggambarkan Kerajaan Surga, lukisan Rusa dengan hamparan rumput yang luas menghijau juga terpampang di sebelah kiri altar, di belakang patung Bunda Maria. Di atas sana terpampang gambar lima roti dan dua ikan, yang melambangkan makna berbagi sebagai ungkapan dan perwujudan iman umat.

Bila dilihat dari bawah, Goa Maria Pengiloning Leres ini nampak seperti bahtera. Bahtera Nabi Nuh yang pada zaman dahulu telah menyelamatkan manusia dan mahkluk-makhluk lainnya di atas bumi dari air bah. Bentuk bahtera ini kemudian semakin disempurnakan dengan adanya patung Kristus Raja Semesta Alam sebagai nahkoda bahtera tersebut. Patung ini adalah karya dari Romo A. Tri Wahyono Pr.

Sekarang, lengkap sudah penampilan bahtera tersebut, ada Tuhan Yesus sebagai nahkoda yang selalu membimbing dan memberkati semua umat Katholik di Stasi Pelem Dukuh. Tempat ini kelak menjadi Golgota dan tempat Bunda Maria Berduka Cita memangku Sang Putra yang telah wafat tersalib (pieta). Goa Maria Lawangsih menjadi awal peziarahan umat, menimba kekuatan melalui Bunda Maria, mengikuti jalan Salib Tuhan Yesus dan menuju pada Golgota. Di sana Kristus Raja telah menanti dengan berkatNya yang melimpah.

INFRASTUKTUR

Kekhasan Goa Maria Lawangsih yakni eksotisme goa alamnya. Goa ini sungguh merupakan goa alam kedua di Keuskupan Agung Semarang setelah Goa Maria Tritis Wonosari, Gunungkidul. Seperti yang kita ketahui, tidak banyak tempat doa yang berupa goa yang merupakan goa alami. Kalau pun ada, tidak sebanyak goa buatan. Goa Lawangsih merupakan salah satu goa alami tersebut, goa ini cukup besar, lengkap dengan sungai kecil yang mengalir di dalam goa dan dihiasi oleh stalaktit stalagmit yang indah. Kesan pertama para peziarah ketika kita datang adalah suasana hening yang menyejukkan hati, jauh dari keramaian. Suara gemericik air, kicauan burung, tiupan angin, udara yang sejuk akan membuat kita semakin mensyukuri indahnya ciptaan Tuhan. Suasana ini lah yang membawa kita pada suatu situasi yang sangat mendukung bila ingin memanjatkan doa kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Goa Lawangsih juga menambah khasanah dan perbendaharaan tempat peziarahan yang ada di Indonesia umumnya dan Keuskupan Agung Semarang khususnya (http://www.wikipedia.com.)

Goa Maria Lawangsih sama sekali belum tersentuh oleh pembangunan secara modern, sungguh-sungguh alami. Selain itu, goa ini dibangun oleh umat yang secara sukarela setiap hari bekerja bakti, bahu membahu, saling mendukung dengan kerja tangan mereka. Dengan senyum, canda, dan penuh semangat iman, selama hampir satu tahun umat mengolah tanah grumbul (semak belukar) menjadi tempat peziarahan Maria yang sangat indah, dengan bukit-bukit batu di sekitar goa, dengan stalagtit dan stalagmit di dalam goa, dengan gemercik air yang mengalir tiada henti, meski kemarau yang sangat panjang sekalipun.

Pemandangan alam sekitar juga sangat indah. Sejak masuk ke daerah Nanggulan dan selama perjalanan 13 km dari Nanggulan menuju Goa Maria Lawangsih, peziarah akan melihat pemandangan yang indah, perbukitan Menoreh, Gunung Merapi, dan jika melihat arah selatan akan kelihatan pemandangan Pantai Laut Selatan di kejauhan. Pada malam hari, peziarah akan melihat pemandangan kota Yogjakarta dengan lampu-lampu yang menambah suasana indah di malam hari. Di sekitar lokasi Goa Maria, juga banyak pemandangan indah, banyak pohon-pohon rindang yang semakin menambah asri tempat Bunda Maria bersemayam, menanti umat berdoa dengan perantaraanNya. Keheningan dan suara gemercik air menjadi pendukung peziarah semakin dekat dengan Allah Sang Pencipta.

Sejauh mata memandang, kita akan menyaksikan rindangnya pohon dan hamparan sawah yang menghijau. Sesekali kicau burung yang bernyanyi memanjatkan syukur kepada Sang Pencipta juga terdengar. Di bawah goa, terdapat sungai yang mengalir membelah dusun. Jauh dari kesan sungai di kota pada umumnya, karena sungai ini begitu jernih walaupun telah melewati luasnya hamparan ladang warga. Air ini tidak biasa digunakan untuk minum, tetapi digunakan untuk kebutuhan pengairan sawah penduduk. Walaupun terkadang dulunya bila sumber-sumber air sudah mengering, sungai ini digunakan untuk mencukupi semua kebutuhan warga. Sekarang, sudah ada kamar mandi sebagai fasilitas penduduk maupun peziarah yang memanfaatkan air dari dalam goa yang jernih. Air ini biasa untuk minum ataupun memenuhi semua kebutuhan hidup. Jadi sungai kecil di bawah goa yang dulunya dipergunakan untuk mandi, Sekarang dikhususkan untuk mengairi sawah.

Di belakang Patung Bunda Maria, terdapat lorong goa yang sangat panjang, dalam dan indah dengan stalagtit dan stalagmit yang mempesona, di dalamnya juga terdapat sumber air yang mengalir tiada henti, jernih dan sejuk, yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar goa Maria. Kelak air ini akan ditampung dan dijadikan tempat “menimba air kehidupan” dan untuk kebutuhan sehari-hari. Sungguh ajaib, Bunda Maria juga memberikan berkatNya. Di depan Bunda Maria, terdapat goa yang cukup lebar, memanjang sampai pada kedalaman yang tak terhingga. Namun sayang, 300 meter setelah pintu goa, sudah menyempit, meski di dalam sana terdapat tempat yang luas dan pemandangan yang sangat indah. Perlu alat modern untuk membuka beberapa batu alam yang menutupi lorong-lorong ke dalam.

Fasilitas untuk peziarah secara umum sudah tersedia meskipun dalam nuansa kesederhanaan. MCK Kamar mandi, WC/toilet, sudah tersedia dengan air yang melimpah. Air jernih dari bawah Bunda Maria dialirkan menuju sebuah bak penyaring yang nantinya menjadi air yang bisa dipakai peziarah untuk dibawa pulang atau untuk diminum langsung. Air ini juga dialirkan ke kamar mandi di bawahnya, sehingga air di kamar mandi/WC sangat jernih dan layak untuk para peziarah. Jalan menuju Goa Maria Lawangsih juga sudah layak untuk menjadi jalan bagi kendaraan peziarah. Pada bulan Nopember 2010, jalan yang melingkar di sekitar Goa Maria Lawangsih sudah diaspal oleh warga di Purwosari.

Perjalanan menuju Goa Maria Lawangsih dapat di tempuh dengan mengendarai sepeda motor, minibus, atau mobil pribadi. Sampai sekarang, bus besar masih sulit untuk menjangkau Goa Maria Lawangsih, karena adanya beberapa tikungan kecil. Apabila menggunakan bus besar/pariwisata, peziarah dapat transit di Gereja Katolik Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Karang, Nanggulan, Kulon Progo, Yogyakarta. Apabila menggunakan bus umum, peziarahan dapat naik bus umum baik dari kota Jogja, Wates, Muntilan dengan mengambil jurusan Nanggulan. Turun di perempatan Kenteng, naik ojek 25 menit sudah sampai lokasi (pintu gerbang peziarahan Goa Maria Lawangsih). Apabila peziarah datang menggunakan mobil, dari arah manapun, menuju Nanggulan. Di perempatan Kenteng ke arah Barat 13 km, dengan jalan hotmix (8 km) dan dilanjutkan jalan desa (aspal) 4 km. Minibus dan mobil pribadi bisa mencapai Goa Maria Lawangsih 15-30 menit, dan bisa diparkir di sekitar Goa. Peziarah cukup berjalan 50-100 meter dari tempat parkir, dari pintu masuk ke tempat ziarah, peziarah cukup berjalan 25 trap tangga dari semen. (Catatan: peziarah sudah bisa mencapai Goa Maria Lawangsih dengan mengikuti rambu penunjuk jalan dari traffick light di Kenteng sampai dengan lokasi Goa Maria Lawangsih).



Sumber: http://www.guamarialawangsihnanggulan.blogspot.com
http://klayapan.wordpress.com

Sabtu, 06 Maret 2010

Gua Siluman

Pesanggrahan Gua Siluman Yang Misterius

  • Gua Siluman (2)

Tak banyak yang mengenal Pesanggrahan Gua Siluman. Maklum, pesanggrahan yang dibangun oleh Hamengku Buwono II ini memang tidak setenar Istana Air Taman Sari. Tapi, di balik ketidakpopulerannya, pesanggrahan ini sebenarnya pernah berfungsi penting bagi kalangan Kraton Yogyakarta, sebagai tempat bertapa. Bersama Pesanggrahan Warungboto, tempat ini disebut dalam salah satu tembang macapat yang berkisah tentang kemajuan yang diraih selama pemerintahan Hamengku Buwono II di Yogyakarta.

Pesanggrahan Gua Siluman terletak di wilayah Wonocatur, Sleman, tepatnya di jalan yang menghubungkan Ring Road Timur Yogyakarta dengan wilayah Berbah, Bantul. Anda yang ingin berkunjung bisa melewati Jalan Raya Janti sampai perempatan Blok O, kemudian berbelok ke kanan. Setelah menemukan papan penunjuk ke arah Berbah, anda tinggal berbelok ke kiri. Pesanggrahan terletak persis di pinggi jalan, ditandai adanya tembok tinggi setebal 75 cm yang warnanya sudah mulai menghitam.

Areal pesanggrahan mencakup wilayah kanan dan kiri jalan. Mungkin sedikit mengherankan, tapi itu benar. Apakah ada bagian bangunan yang terpotong dengan keberadaan jalan? Ternyata tidak. YogYES memastikannya dengan melihat bagian bangunan di kiri jalan yang merupakan pintu gerbang masuk pesanggrahan ini. Pintu itu bersambungan dengan lorong menuju areal bangunan yang berada di kanan jalan. Artinya, lorong yang menghubungkan kompleks di kanan dan kiri jalan itu berada di persis di bawah jalan raya menuju Berbah itu.

Pada bangunan pintu gerbang itu, kami menjumpai relief burung Beri di bagian atasnya. Bentuknya yang unik masih dapat dilihat jelas meski beberapa bagian sudah mengalami kerusakan karena dimakan usia. Sementara pada bagian bawah pintu, terdapat beberapa anak tangga yang menghubungkan bagian luar dengan lorong. Bila masuk lebih ke dalam, akan dijumpai lagi sebuah pintu yang bagian atasnya berbentuk lengkung, mungkin berfungsi sebagai penanda sudah memasuki lorong.

YogYES sebenarnya ingin menelusuri lorong, namun kami urungkan dan lebih memilih menyeberang jalan. Selanjutnya, kami menuruni bangunan yang berada di kanan jalan dan menemunkan sebuah pintu yang berbentuk persegi. Pintu itu merupakan tembusan dari lorong yang menghubungkan bagian kanan dan kiri jalan. Tak seperti pintu utara yang dihiasi dengan relief burung Beri, pintu selatan ini sederhana, tanpa hiasan apa pun.

Lewat pintu selatan itulah, YogYES bisa mengintip bagian pesanggrahan yang lain. Terdapat bangunan yang memanjang ke timur, bersambungan langsung dengan lorong. Bangunan tersebut terbagi menjadi beberapa ruang yang masing-masing juga dihubungkan dengan sebuah pintu. Tak jauh dari pintu yang menghubungkan ke ruangan paling timur, terdapat sebuah sekat yang dihiasi ornamen-ornamen indah serupa motif kain batik. Sementara, di ruangan paling timur sendiri terdapat kolam segi empat yang hingga kini masih terisi air.

Seperti banyak pesanggrahan pada masa awal Kraton Yogyakarta, Gua Siluman juga memiliki areal taman dan kolam. Saat ini, di areal taman itu ditanam beragam tanaman hias sehingga areal ini tampak hijau. Tanaman hias itu tumbuh di pinggir dua buah kolam segi empat yang juga merupakan bagian dari bangunan pesanggrahan. Bagian pinggir dan dasar kedua kolam itu sebenarnya terbuat dari plesteran yang cukup bagus, namun sayang tak bisa dilihat karena airnya tak begitu bening.

Berkeliling ke sisi barat daya, terdapat satu buah kolam air lagi yang berbentuk lingkaran. Kolam itu dihiasi dengan arca burung Beri dengan paruhnya yang menonjol. Bentuknya sangat unik, terutama karena paruhnya sekaligus berfungsi sebagai pancuran air. Kolam serupa sebenarnya juga terdapat di sebelah tenggara, namun arcanya sudah mengalami kerusakan dan kolamnya mulai terpendam tanah.

Hingga saat ini, beragam aktivitas kalangan Kraton selain semedi yang dilakukan di Pesanggrahan Gua Siluman belum bisa terjawab, termasuk siapa saja yang pernah bersemedi di tempat ini. Hal lain yang masih jadi misteri adalah nama bangunannya sendiri. Tembang macapat yang memuat pendirian bangunan ini mengatakan nama bangunan adalah Gua Seluman, namun papan nama yang ada di kompleks bangunan sekarang menyebut nama bangunannya Gua Siluman. Apakah Seluman dan Siluman berarti sama?

Dahulu, banyak orang menganggap bangunan ini angker sehingga tak sembarangan orang bisa memasukinya. Namun kini anggapan itu sudah tak ada sebab beberapa orang bahkan menggunakan areal pesanggrahan untuk tempat ngobrol. Jadi, anda bisa mengunjungi salah satu situs bersejarah ini tanpa merasa takut.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2007 YogYES.COM

Sumber: www.yogyes.com

Sendang Sono

Sendang Sono, Lourdes-nya Indonesia

  • Sendang Sono (3)

Sendang Sono bisa dijangkau setelah melewati jalan berliku di kaki bukit Menoreh. Anda bisa memilih dua jalur jika ingin menjangkaunya dari pusat kota Yogyakarta, melewati Jalan Godean hingga Sentolo kemudian belok ke kanan, atau melewati Jalan Magelang hingga pertigaan Pasar Muntilan kemudian belok ke kiri. Jaraknya sekitar 45 kilometer, atau satu jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

  • Sendang Sono (4)

Sebuah pintu dengan dinding samping terbuat dari batu akan mengantar anda masuk ke kompleks ziarah yang luas, terbagi atas kapel-kapel kecil, lokasi Jalan Salib, Gua Maria, pendopo, sungai dan tempat penjualan perlengkapan ibadah. Udara sejuk akan menyapa anda begitu memasuki kompleks ziarah, tak heran sebab kompleks ini ditumbuhi banyak pepohonan.

  • Sendang Sono (5)

Sendang Sono dinamai berdasarkan letaknya. Sendang berarti mata air, sementara Sono berarti pohon sono, sehingga nama itu menunjukkan bahwa sendang ini terletak di bawah pohon sono. Sendang beserta pohon sono dapat dijumpai dengan berbelok ke kanan dari pintu masuk, sayangnya anda tak bisa melihat sendang dengan leluasa karena bilik sendang kini ditutup dengan kotak kaca.

  • Sendang Sono (6)

Sebelum tahun 1904, sendang ini lebih dikenal dengan nama Sendang Semagung, berfungsi sebagai persinggahan para bhikku yang ingin menuju daerah Boro, wilayah sebelah selatan Sendang Sono. Namun, sejak 20 Mei 1904 atau kedatangan Pastur Van Lith dan pembaptisan 173 warga Kalibawang menggunakan air sendang, tempat ini mulai berubah fungsi sebagai tempat ziarah umat Katholik.

  • Sendang Sono (7)

Memasuki kapel utama di kompleks ziarah ini, anda bisa mengenang peristiwa pembaptisan yang terjadi 102 tahun lampau itu, sebab di kapel itu terdapat sebuah relief yang menggambarkan prosesi pembaptisan. Sementara memasuki Kapel bunda Maria dan Kapel Para Rasul, anda akan mengingat perjuangan Bunda Maria dan 12 rasul pertama Kristus.

  • Sendang Sono (8)

Jika ingin mengenang perjuangan salah satu warga penggerak komunitas Katholik Sendang Sono, anda bisa menuju ke pemakaman di dekat Kapel bunda Maria. Di sana, anda akan menemukan makam Barnabas Sarikromo, sahabat baik Pastur Van Lith yang juga menjadi salah satu warga yang dibaptis pada tahun 1904 dan ditetapkan sebagai katekis pertama di daerah tersebut.

Sarikromo yang dilahirkan pada tahun 1874 bisa dikatakan seorang yang menerima rahmat karena senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan. Ketika muda, ia menderita sakit kaki yang sulit disembuhkan. Dalam doa dan janjinya untuk mengabdikan diri pada Tuhan jika kakinya disembuhkan, ia bertemu dengan Pastur Van Lith yang kemudian membantu pengobatannya ke seorang bruder hingga sembuh.

Jalan salib pendek bisa menjadi pilihan ibadah untuk mengenang kesengsaraan Kristus memanggul kayu Salib. Di setiap pemberhentian jalan salib itu, anda bisa menyalakan lilin sekaligus berdoa dan mengingat peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan Kristus menuju Bukit Golgota, seperti saat kristus jatuh dua kali saat memanggul kayu salib, saat Veronica mengusap wajah Kristus dengan sapu tangannya hingga saat akhir menjelang kematian Kristus.

Berdoa di depan Gua Maria yang terletak di belakang pohon sono juga bisa menjadi pilihan untuk mencari ketenangan batin. Banyak orang memanjatkan doa dengan bersimpuh dan menyalakan lilin di depan gua ini. Anda bahkan bisa menuliskan permohonan atau curahan hati anda dalam secarik kertas, lalu memasukkannya dalam pot tempat pembakaran surat agar Tuhan menerimanya. Asal tahu, patung Bunda Maria yang ada di kompleks ini didatangkan khusus dari Spanyol.

Selain menenangkan diri dan berdoa, anda juga bisa menikmati keindahan arsitektur kompleks yang dirancang oleh Y.B Mangunwijaya Pr dan meraih Aga Khan Awards ini. Anda bisa duduk santai di pendopo sanbil menikmati bangunan sekeliling yang didominasi bahan batu, atau berdiri di jembatan kecil sambil menikmati indahnya sungai yang mengalir di bawahnya.

Saat hendak pulang, jangan lupa mengambil air sendang dengan cara menuju keran-keran air yang terdapat di sisi kanan sungai. Membawa pulang air sendang dan meminumnya, dipercaya dapat mendatangkan berkah. Dengan membawa air sendang itu, tentu perenungan dan permohonan yang disampaikan selama ibadah akan lebih komplit.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo: Sigit Nugroho
Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2006 YogYES.COM

Sumber: www.yogyes.com

Suroloyo

Puncak Suroloyo, Meneropong Borobudur dari Pertapaan Sultan Agung

  • Puncak Suroloyo (4)

Matahari muncul dalam warna kemerahan kurang lebih pada pukul 5.00 WIB, menyembul di antara ranting pohon yang berwarna hijau. Sinarnya membuat langit terbagi dalam tiga warna utama, biru, jingga dan kuning. Serentak saat warna langit mulai terbagi, sekelompok burung berwarna hitam mulai meramaikan angkasa dan membuat suara serangga tanah yang semula kencang perlahan melirih.

Empat gunung besar di Pulau Jawa, yaitu Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro menyembul di antara kabut putih. Ketebalan kabut putih itu tampak seperti ombak yang menenggelamkan daratan hingga yang tersisa hanya sawah yang membentuk susunan tapak siring dan pepohonan yang terletak di dataran yang lebih tinggi. Dari balik kabut putih itu pula, stupa puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di permukaan lautan kabut.

Itulah pemandangan yang bisa dilihat saat fajar ketika berdiri di Puncak Suroloyo, buykit tertinggi di Pegunungan Menoreh yang berada pada 1.091 meter di atas permukaan laut. Untuk menikmatinya, anda harus melewati jalan berkelok tajam serta menakhlukkan tanjakan yang cukup curam, dan memulai perjalanan setidaknya pada pukul 2 dini hari. Dua jalur bisa dipilih, pertama rute Jalan Godean - Sentolo - Kalibawang dan kedua rute Jalan Magelang - Pasar Muntilan - Kalibawang. Rute pertama lebih baik dipilih karena akan membawa anda lebih cepat sampai. Tentu anda mesti berada dalam kondisi fisik prima, demikian juga kendaraan yang mesti berisi bahan bakar penuh serta bila perlu membawa ban cadangan.

Setelah berjalan kurang lebih 40 km, anda akan menemui papan penunjuk ke arah Sendang Sono. Anda bisa berbelok ke kiri untuk menuju Puncak Suroloyo, namun disarankan anda berjalan terus dahulu sejauh 500 meter hingga menemui pertigaan kecil dan berbelok ke kiri karena jalannya lebih halus. Dari situ, anda masih harus menanjak lagi sejauh 15 km untuk menuju Puncak Suroloyo. Sebuah perjalanan yang melelahkan memang, namun terbayar dengan keindahan pemandangan yang dapat dilihat.

Pertanda anda telah sampai di bukit Suroloyo adalah terlihatnya tiga buah gardu pandang yang juga dikenal dengan istilah pertapaan, yang masing-masing bernama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran. Suroloyo adalah pertapaan yang pertama kali dijumpai, bisa dijangkau dengan berjalan kaki menaiki 286 anak tangga dengan kemiringan 300 - 600. Dari puncak, anda bisa melihat Candi Borobudur dengan lebih jelas, Gunung Merapi dan Merbabu, serta pemandangan kota Magelang bila kabut tak menutupi.

Pertapaan Suroloyo merupakan yang paling legendaris. Menurut cerita, di pertapaan inilah Raden Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo bertapa untuk menjalankan wangsit yang datang padanya. Dalam kitab Cabolek karya Ngabehi Yosodipuro yang ditulis pada abad 18, Sultan Agung mendapat dua wangsit, pertama bahwa ia akan menjadi penguasa tanah Jawa sehingga mendorongnya berjalan ke arah barat Kotagede hingga sampai di Pegunungan Menoreh, keduia bahwa ia harus melakuykan tapa kesatrian agar bisa menjadi penguasa.

Menuju pertapaan lain, anda akan melihat pemandangan yang berbeda pula. Di puncak Sariloyo yang terletak 200 meter barat pertapaan Suroloyo, anda akan melihat Gunung Sumbing dan Sindoro dengan lebih jelas. Sebelum mencapai pertapaan itu, anda bisa melihat tugu pembatas propinsi DIY dengan Jawa Tengah yang berdiri di tanah datar Tegal Kepanasan. Dari pertapaan Sariloyo, bila berjalan 250 meter dan naik ke pertapaan Kaendran, anda akan dapat melihat pemandangan kota Kulon Progo dan keindahan panati Glagah.

Usai melihat pemandangan di ketiga pertapaan, anda bisa berkeliling wilayah Puncak Suroloyo dan melihat aktivitas penduduk di pagi hari. Biasanya, mulai sekitar pukul 5 pagi penduduk sudah berangkat ke sawah sambil menghisap rokok linting. Bila anda berjalan di dekat para penduduk itu, aroma sedap kemenyan akan menyapa indra penciuman sebab kebanyakan pria yang merokok mencampur tembakau linting dengan kemenyan untuk menyedapkan aroma.

Selain memiliki pemandangan yang mengagumkan, Puncak Suroloyo juga menyimpan mitos. Puncak ini diyakini sebagai kiblat pancering bumi (pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa. Masyarakat setempat percaya bahwa puncak ini adalah pertemuan dua garis yang ditarik dari utara ke selatan dan dari arah barat ke timur Pulau Jawa. Dengan mitos, sejarah beserta pemandangan alamnya, tentu tempat ini sangat tepat untuk dikunjungi pada hari pertama di tahun baru.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2006 YogYES.COM

Sumber: www.yogyes.com

Gunung Kemukus

Gunung Kemukus

Gunung Kemukus

Gunung Kemukus

Objek Wisata Ziarah Makam Pangeran Samudro yang lebih dikenal dengan sebutan “GUNUNG KEMUKUS” selalu menarik untuk diulas. Hal yang menjadikan objek wisata ini menarik adalah pandangan pro dan kontra tentang Makam Pangeran Samudro itu sendiri dan kisah yang beredar di tengah masyarakat. Ada 2 (dua) paradigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tentang Makam Pangeran Samudro atau Gunung Kemukus. Pertama, adanya keyakinan di sebagian masyarakat bahwa apabila ingin ngalap berkah atau permohonannya terkabul, maka orang yang datang ke Makam Pangeran Samudro harus melakukan ritual berhubungan intim dengan lawan jenis yang bukan suami atau istrinya selama 7 (tujuh) kali dalam satu lapan ( 1 lapan = 35 hari).

Paradigma negatif ini perlu diluruskan agar para peziarah tidak terjebak dalam paradigma dan kepercayaan yang keliru. Setiap peziarah atau pengunjung yang menginginkan permohonan atau keinginannya terkabul haruslah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan berdoa dan berusaha di jalan yang benar. Singkatnya, paradigma negatif yang berkembang di tengah masyarakat tersebut tidak benar adanya.
Kedua, berziarah ke Makam Pangeran Samudro atau Gunung Kemukus adalah suatu kegiatan ritual yang mengandung nilai keutamaan dengan mengingat jasa dan keluhuran jiwa dari figur yang diziarahi. Dengan berziarah di tempat tersebut, manusia diharapkan untuk selalu ingat akan kematian sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu berbuat kebaikan sesuai dengan keluhuran jiwa dan teladan dari figur yang diziarahi.

Informasi Umum
Secara administratif, Obyek Wisata Gunung Kemukus terletak di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Secara geografis, Objek Wisata Gunung Kemukus terletak sekitar ± 29 km di sebelah utara kota Solo. Dari Sragen sekitar 34 km ke arah utara. Jarak tersebut bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.

Dari kota Sragen dapat ditempuh selama ± 45 menit dengan kendaraan bermotor melewati jalan Sragen – Pungkruk/Sidoharjo – Tanon – Sumberlawang/Gemolong – Gunung Kemukus.
Dari kota Solo dapat menggunakan kendaraan bermotor selama ± 30 menit, melewati jalan Solo – Purwodadi turun di Barong kemudian menuju Gunung Kemukus dengan perahu menyeberangi Waduk Kedung Ombo.

Kawasan Gunung Kemukus merupakan sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut. Dengan dibangunnya Waduk Kedung Ombo menjadikan Makam Pangeran Samudro berada di atas bukit yang menjorok ke tengah Waduk Kedung Ombo. Oleh karena itu, Obyek Wisata Gunung Kemukus juga merupakan salah satu objek wisata tirta di Kabupaten Sragen. Komplek Makam Pangeran Samudro adalah Obyek Wisata Budaya di Kabupaten Sragen. Kawasan tersebut terdiri dari :

  1. Bangunan utama berbentuk rumah joglo dengan dinding batu bata dan bagian atas berdinding kayu papan. Didalamnya terdapat tiga makam. Satu buah makam besar yang ditutupi kain selambu adalah makam Pangeran Samudro dan R.Ay. Ontrowulan. Sedangkan dua makam lainnya adalah makam dua abdi setia Pangeran Samudro yang selalu mengikuti beliau kemanapun pergi.
  2. Di sebelah kanan makam terdapat sendang (sumber air) yang bernama “Sendang Ontrowulan”. Sendang tersebut merupakan tempat bersuci R.Ay. Ontrowulan ketika akan menemui putranya yang sudah meninggal. Air sendang tersebut dikenal tidak pernah habis, bahkan di musim kemarau sekalipun.

Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus
Teladan Terakhir Anak Raja Majapahit

“Barang siapa berhasrat atau punya tujuan untuk hal yang dikehendaki maka untuk mencapainya harus dengan kesungguhan, mantap, dengan hati yang suci. Harus konsentrasi pada yang dikehendaki, dekatkan keinginan, seakan-akan seperti menuju ke tempat yang disayanginya atau kesenangannya.”

Dalam selimut kabut tipis di tengah belantara, suatu pagi, tujuh abad silam, pesan itu meluncur dari bibir Pangeran Samudro. Bias cahaya lembut meliputi rona sang pangeran yang terbaring lemah. Beberapa orang dengan pakaian Kejawen bersimpuh mengelilingi tubuh yang sakit itu. Mata mereka berkaca-kaca. Mereka sadar sedang menyimak kata-kata penghabisan. Pesan itu terucap lamat. Kemudian senyap. Mengirim tanda tentang berakhirnya sebuah kehidupan.
Konon, itulah wejangan terakhir Pangeran Samudro, sesaat menjelang ia mangkat. Para pengikut Samudro kemudian mendirikan pemukiman. Letaknya tak jauh dari jasad sang Pangeran yang dimakamkan di sebuah bukit –dan kemudian disebut Gunung Kemukus. Dukuh Samudro, nama pemukiman itu, terletak beberapa puluh meter di bawah lokasi makam. Para pengikut Samudro pun patuh melaksanakan wasiat terakhir junjungannya itu. Kisah-kisah keteladanan sang pangeran lalu terpatri hingga ratusan tahun, sengaja diwariskan turun temurun oleh penduduk Dukuh Samudro. Di Kemukus, nasihat Pangeran Samudro agar senantiasa bersungguh hati dalam mencapai kebaikan terus lestari dan ditularkan kepada siapa saja.
Obyek wisata Gunung Kemukus merupakan wisata spiritual dan banyak didatangi para pengunjung dari berbagai daerah untuk berziarah. Menghirup udara yang segar, atau sekadar berjalan-jalan di bawah kerindangan pohon-pohon langka berumur ratusan tahun merupakan satu pesona tersendiri. Secara administratif, Gunung Kemukus dan Dukuh Samudro kini masuk wilayah Kecamatan Miri, sekitar 25 kilometer dari pusat Kabupaten Sragen.
Memasuki Dukuh Samudro di lereng Kemukus, pengunjung akan menjumpai berbagai aktivitas khas warga pedesaan. Proyek Waduk Kedung Ombo yang diresmikan pada 1990 menyebabkan bukit Kemukus kini dikelilingi oleh air. Dari kejauhan terlihat seperti bukit di tengah telaga. Jika debit air sedang tinggi, pengunjung harus menyeberang dengan menggunakan perahu atau rakit yang disediakan penduduk.
Menuju kompleks makam di puncak bukit, jalanan agak menanjak. Di sini terhampar titian tangga beton berundak menuju makam. Di bukit ini, kerimbunan pohon berjenis langka tumbuh dengan ukuran raksasa. Hutan di Kemukus masih terjaga. Suasana pun menjadi menyenangkan, teduh dan segar, sesekali terdengar kicauan burung hutan.
Kompleks makam Pangeran Samudro itu sederhana saja. Nisan antik dengan ornamen khas Jawa nampak menghiasi pusara. Kain kelambu putih menyelubungi pucuk-pucuk nisan. Lingkungan yang terjaga kebersihannya membuat kompleks makam jauh dari kesan menakutkan. Meskipun demikian, aura kharismatik tetap memancar dari kompleks makam tersebut.
Untuk melindungi makam dari perubahan cuaca, sebuah bangunan beratap joglo didirikan. Di bawah naungan joglo itulah para peziarah biasanya duduk bersila melantunkan doa. Bagi penduduk setempat dan juga peziarah, memandang nisan antik di pusara dapat mengingatkan beribu kisah tentang kearifan dan kesederhanaan Pangeran Samudro.

Anak Raja Terakhir Majapahit
Pangeran Samudro adalah salah satu anak penguasa terakhir kerajaan Majapahit, sebuah kerajaan Hindu terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-13. Kerajaan yang berpusat di Jawa Timur itu wilayah kekuasaannya meliputi kepulauan Indonesia dan membentang hingga bagian selatan India.
Tak lama setelah Islam masuk ke Indonesia, Majapahit pun runtuh. Samudro, pemuda umur 18 tahun –waktu itu, enggan melarikan diri sebagaimana dilakukan banyak kerabatnya. Ia justru menanggalkan pangkat dan memilih menjadi pandita. Berguru tentang agama yang baru datang ke tanah Jawa itu; Islam, kepada Sunan Kalijaga,ulama besar yang tinggal di Kesultanan Demak.
Usai berlajar di bawah bimbingan wali penyebar Islam itu, Samudro melanglang negeri turut menyiarkan risalah Islam. Selain menyebarkan agama Islam, Samudro juga menemui sisa-sisa dinasti Majapahit yang tercerai berai, mengajak mereka bergabung ke dalam payung Kesultanan Demak.
Namun, di tengah ekspedisi tersebut, Samudro mendadak jatuh sakit dan meninggal. Pangeran Samudro akhirnya dimakamkan di sebuah bukit yang terletak tak jauh dari lokasi ia wafat. Oleh pengikutnya, tempat Pangeran Samudro meninggal didirikan sebuah desa dan dinamakan Dukuh Samudro.
Konon, terjadi fenomena alam yang aneh sepeninggal Pangeran Samudro. Asap hitam (dalam bahasa Jawa diistilahkan kukus) menyelimuti bukit tempat makam Pangeran Samudro. Fenomena itu terjadi setiap menjelang pergantian musim. Oleh penduduk dan pengikut Pangeran Samudro, bukit itu lalu dinamakan Gunung Kemukus.
Syahdan, ibu Pangeran Samudra, Raden Ayu Ontrowulan sangat bersedih mendengar kematian putra semata wayangnya. Ia pun menyusul ke Kemukus dan mensucikan diri dengan air dari telaga kecil yang letaknya tak jauh dari makam. Ontrowulan lalu berdoa tanpa henti agar dapat dipertemukan dengan Pangeran Samudro. Menurut legenda yang dipercaya penduduk setempat, tubuh Ontrowulan tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak.
Penduduk percaya hal tersebut disebabkan Ontrowulan berdoa dengan sepenuh hati diserta jiwa raga yang sudah suci. Orang Jawa menyebut kejadian itu sebagai muksa. Telaga tempat muksa itu lalu dinamakan sendang Ontrowulan.

Jejak Pertemuan Budaya Jawa dan Islam
Anak keturunan pengikut Pangeran Samudro mempercayai kawasan Gunung Kemukus sebagai lokasi sakral untuk berdoa bersama. Setiap Kamis malam menjelang Jumat Pon dan Jumat Kliwon dalam kalender Jawa selalu digelar doa tahlil bersama. Acara itu juga digunakan untuk memperingati penemuan pusaka Kotang Ontokusumo oleh Sri Sultan Demak. Tradisi itu terus dipertahankan hingga kini. Pada hari-hari tersebut pengunjung yang berziarah dan berdoa datang membludak. Pentas wayang kulit digelar semalam suntuk untuk mengajak berbuat baik.
Ritual yang paling ramai dan diminati pengunjung adalah upacara di bulan Syuro bulan pertama dalam penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan dimulainya bulan Muharram dalam kalender Islam. Tiap Kamis malam diadakan pentas wayang kulit semalam suntuk. Sedangkan pada hari Kamis di pekan pertama bulan Syuro digelar tradisi larap slambu yang merupakan ritual pencucian kain penutup makam Pangeran Samudro. Ritual ini dipercaya memberi berkah bagi pengunjung yang memanfaatkan air bekas cucian slambu dan potongan kain slambunya.
Saat ritual Larap Slambu , para bangsawan Kraton Surakarta bisanya turut menghadirinya. Mereka berbusana tradisional Jawa. Pada hari itu wisatawan dapat menjumpai ornamen dan pakaian tradisional Jawa, prajurit dengan senjata khas kraton kuno di setiap sudut Kemukus. Nuansa tradisional Jawa sangat terasa pada ritual Larap Slambu itu.

Yang tak kalah menarik adalah mengamati pola kehidupan, kebudayaan, dan kepercayaan yang berlangsung dalam masyarakat kawasan Gunung Kemukus. Di kawasan tersebut bakal ditemui jejak-jejak perjumpaan antara tradisi Jawa Hindu dan Islam. Lengkap dengan berbagai legenda dan artefak bersejarah yang tersisa. Niscaya, dari aspek antropologi, para pengunjung akan menemui kesan eksotis ketika berada di kawasan itu.

Fasilitas Pengunjung
Musholla
Kamar kecil
Tempat Parkir
Tempat penitipan
Petugas Ketertiban/Keamanan
Ruang Informasi

Sumber: www.potlot-adventure.com

Berkawan dengan Goa Seplawan

Berkawan dengan Goa Seplawan

goa-seplawanSebagai daerah tujuan wisata, nama Gua Seplawan yang terletak di desa Denorejo, Kali Gesing, Purworejo, Jawa Tengah belum terlalu dikenal luas. Padahal, gua yang terletak di sebuah bukit dengan ketinggian 700 meter diatas permukaan laut itu punya daya tarik sendiri. Menempuh waktu sekitar 2 jam dari Purworejo, begitu datang di sekitar kawasan gua Sepelawan, kita akan disambut panorama yang indah.

Bagi yang mau menikmati pemandangan, silahkan menikmati dulu, tapi buang yang ingin langsung masuk ke dalam gua, seperti reporter kita Seno. Waah jalan masuknya saja seperti di film film petualangan.

Nah untungnya sudah ada tangga yang tersedia disini buat pengunjung. Jangan sampai juga nih ke sini gak ditemani mbah Sukanto sang pamndu yang ikut menemukan kegeradaan gua ini pada tahun 1979.

Karena selain lampu sebagai penerang jalan, bakal dinyalakan, kita juga bisa tanya soal gua yang digolongkan sebagai situs prasejarah ini, termasuk penemuan arca emas dewo Shiwa dan Dewi Sekarwati.

Gua yang terbentuk secara alami ini indah banget lho, banyak ornamen bebatuan gua yang bisa dinikmati seperti stalaktit dan stalaknit. Tapi kalau kesini sebaiknya bersiap untuk melakukan petualangan.

Seno gak nyangka tuh harus menyeberangi sungai. Gua Sepelawan memang dialiri sejumlah sungai dangkal, jadi alas kaki sebaiknya yang memang untuk menjelajah gua.

Tapi kalau lihat medangnya yang sebetulnya gak perlu peralatan khusus, mungkin memang lebih enak nyeker ya seperti Mbah Sukanto dan Seno tuh!.

Menurut mbah Sukamto, gua ini relatif aman, yang penting hati hati, dan kalau mau masuk gua, koordinasi dulu dengan penjaga gua. Jangan nyelonong langsung aja main masuk.

Sayang neh kalau kesini gak foto foto, tuh kayak Seno, asyik motret motret. Tapi yang difoto kok dinding guanya doang….Nah selain dihiasi aneka ornamen berupa guratan didindingnya dan stalaknit serta stalaktit, suka juga yang datang untuk keperluan ritual.

Sayangnya wisatawan yang datang masih sedikit, itupun kebanyakan tahunya dari mulut ke mulut. Seperti mas Gendut yang tinggal di Yogyakarta ini. Seperti kebanyakan orang, ia pun datang ke mari bersama teman temannya.

Wah kalau sudah begini neh, sebaiknya pemerintah setempat cepat bergerak untuk gencar mempromosikan dan membenahi gua sepelawan, supaya jadi objek wisata unggulan.

Sumber: Indosiar.com

Candi Borobudur

Candi Borobudur


Candi Borobudur

Candi Borobudur

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.

Nama Borobudur
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudurborobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah “tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi. berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan, pendiri Borobudur adalah raja dari dinasti Syailendra bernama Samaratungga sekitar 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.

Struktur Borobudur

Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.

Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.

Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini, diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibuddha. Patung yang diduga berasal dari stupa terbesar ini kini diletakkan dalam sebuah museum arkeologi, beberapa ratus meter dari candi Borobudur. Patung ini dikenal dengan nama unfinished Buddha.

Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala

Relief

Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracaritaRamayana. Ada pula relief-relief cerita j?taka.

Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur disetiap tingkatnya, mulainya disebelah kiri dan berakhir disebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Tahapan pembangunan Borobudur

* Tahap pertama

Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850 M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.

* Tahap kedua

Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar.

* Tahap ketiga

Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya.

* Tahap keempat

Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief perubahan tangga dan lengkung atas pintu.
Penemuan dan pemugaran Borobudur
Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

* 1873 – monografi pertama tentang candi diterbitkan.

* 1900 – pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.

* 1907 – Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.

* 1926 – Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.

* 1956 – pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.

* 1963 – pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.

* 1968 – pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.

* 1971 – pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
* 1972 – International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.

* 10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984

* 21 Januari 1985 – terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali.

* 1991 – Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.

arca-budha-borobudurSebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, Candi Borobudur dibangun dengan menggunakan +/- 55.000 m3 batu. Tinggi bangunan ini sampai kepuncak adalah 42m, dengan lebar dasar 123 m. Tegak dan kokoh menjulang keangkasa dan merupakan bagian dari sejarah yang telah berumur 12 abad. Kapan pastinya candi ini didirikan tidak diketahui dengan pasti. Tidak adanya bukti-bukti tertulis menyebabkan Borobudur penuh kegelapan. Penentuan umur dilakukan dengan memperhatikan dasar corak bangunan candi dan ukir-ukirannya yang menunjukkan corak Jawa tengah abad 8 masehi.

Sejak dibangun pada abad ke 8, sejarah borobudur timbul tenggelam. Setelah selesai dibangun, borobudur menjadi pusat penelitian dan pemngembangan agama budha. Para pemeluk agama ini, mengunjungi Borobudur untuk mempelajari agama budha. Seluruh rangkaian relief borobudur berisi ajaran-ajaran agama budha. Pada jaman itu bangunan borobudur menjadi pusat perhatian dan dipuja sebagai bangunan yang suci.

Namun itu tidak berlangsung lama. Bersamaan dengan surutnya agama budha, borobudur ditinggal para pemeluknya. Setelah dinasti Cailendra (Caila=gunung, Indra=raja) lenyap, borobudur tak ada kabar beritanya. Berabad-abad borobudur tertutup kegelapan. Tidak ada tulisan ataupun berita tentang borobudur.

Arsitektur candi Borobudur memang sangat menarik, terdiri dari tiga bagian utama yakni kaki, badan dan kepala candi. Pada dinding-dinding borobudur terpahat relief-relief. Relief merupakan rangkaian cerita yang dilukiskan dalam satu bingkai (panel) untuk satu adegan. Terdapat ribuan bingkai pada candi ini ditambah dengan ratusan patung budha yang terdapat dalam stupa-stupa maupun relung-relung yang ada pada bagian dinding candi.

Sumber: www.potlot-adventure.com